“PERSPEKTIF SOSIOLOGIS
DALAM PERBUATAN
MAIN HAKIM SENDIRI”
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Tindak
kekerasan oleh massa dalam bentuk main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan,
pada saat ini telah menjadi fenomena baru dalam masyarakat. Fenomena ini terus
bermunculan, seiring dengan bergulirnya gerakan reformasi. VIVAnews
(10 oktober 2012) - Aksi main hakim sendiri menjadi budaya kekerasan
yang sering terjadi di Guatemala. Kasus terbaru, seorang pembunuh babak belur
dihajar massa dan menemui ajal saat
tubuhnya dibakar.dikarenakan telah membunuh dua bocah SD, pria dan wanita, yang
berusia 13 dan 8 tahun.
Salah
satu contoh yang sangat tragis adalah ketika empat pelaku kejahatan di Pondok
Gede yang sudah ada di atas mobil
patroli Polisi, kemudian diseret, dianiaya dan dibakar oleh massa. Menyikapi
kejadian tersebut, komentar yang muncul dari salah satu anggota masyarakat
adalah: “ … kalau diserahkan kepada polisi, tak lama lagi mereka akan keluar
dan kembali nodong”. Komentar ini menunjukan tingkat kepercayaan masyarakat
kepada aparat penegak hukum telah hilang dan juga menunjukkan rendahnya kemampuan
polisi untuk mencegah tindakan main hakim sendiri tersebut.
Peristiwa
main hakim sendiri ini tidak hanya terjadi di Jakarta yang karakteristik
penduduknya sangat beragam. Di Lampung
Timur, Ada delapan rumah yang dibakar, yang empat rata dengan tanah. Rumah yang
hancur ada 20 dan ada juga motor yang dibakar. Yang hanya dikarenakan Jumat
lalu ada dua orang maling motor dan dibakar warga sampai mati ( VIVAnews,
Jumat malam, 28 September 2012).
2.
Tujuan
Mencermati
perilaku masyarakat dalam menyikapi berbagai tindakpidana kejahatan tersebut,
pertanyaan yang muncul adalah mengapa masyarakat berperilaku demikian ? Tidak
mampukah peraturan hukum sebagai sarana kontrol sosial mencegah tindakan main
hakim sendiri ? Makalah ini akan menguak fenomena perilaku main hakim sendiri
dari aspek sosiologis.
BAB II
PERMASALAHAN
1. HARAPAN DAN KENYATAAN
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengucapkan
selamat tahun baru kepada seluruh masyarakat. SBY pun berharap tahun 2012
akan membawa berkah bagi Indonesia. "Dengan rasa syukur dan suka cita mari
kita berdoa semoga bangsa kita senantiasa mendapat bimbingan sehingga kita bisa
melakukan satu yang lebih baik," kata Presiden SBY di RSPAD Gatot Subroto,
Jakarta, Sabtu (31/12/11). SBY berharap bangsa Indonesia makin rukun dan bersatu
terus membangun menjadi bangsa yang makin maju adil dan sejahtera. "Saya
secara khusus mengajak masyarakat untuk memperkokoh persaudaraan dan kerukunan
sebagai bangsa dan jangan membiarkan terjadinya kekerasan di masyarakat. Kita
harus menjaga terjadinya aksi kekerasan atas nama apapun, baik nama agama,
suku, dan etnik," ujarnya. SBY meminta pada 2012, tindakan main hakim
sendiri juga dapat dicegah..
Di bidang politik, SBY menilai pada 2012 suhu politik
akan semakin hangat. SBY mengajak para elit politik untuk menjaga stabilitas
nasional dan menjaga agar tidak membuat kegaduhan politik. "Demokrasi itu
tidak harus gaduh. Saya melihat rakyat tidak mau ada kegaduhan politik yang
berlebihan," ujarnya.
"Saya
mengajak pemerintah untuk membuat tahun depan sebagai tahun peningkatan dan
menciptakan kesejahteraan masyarakat kita. Apa yang belum kita raih di tahun
2011, mari kita tingkatkan. Dan kita harus persiapkan apa yang belum kita
persiapkan sasaran di tahun 2012," ujarnya.
2. SEBAB SEBAB PERMASALAHAN
A.Hukum dan masyarakat
Untuk
mengatur ketertiban dan kepatuhan terhadap norma kehidupan bermasyarakat
diperlukan suatu norma hukum. Hoeber (dalamSchur,
1968) menyebutkan empat fungsi dasar hukum sebagai sarana kontrol sosial dalam
kehidupan bermasyarakat, yaitu :
1. Untuk menetapkan
hubungan-hubungan antar anggota masyarakat, dengan menunjukan jenis-jenis
perilaku apa saja yang diperbolehkan dan yang dilarang;
2. Menentukan pembagian kekuasaan
dan merinci siapa saja yang mewakili kewenangan untuk melakukan pemaksaan, serta
siapa saja yang harus mentaatinya. Sekalipun
memilihkan sanksi-sanksi yang tepat dan efektif;
3. Menyelesaikan sikap sengketa
dan
4. Memelihara kemampuan
masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang berubah,
dengan cara merumuskan kembali hubungan-hubungan antar anggota masyarakat. Apabila fungsi-funsgi ini dijalankan
dengan benar dan kosekuen, dapat diharapkan perilaku manusia dan tata kehidupam
masyarakat akan sesuai dengan kaidah, norma, nilai dan aturan yang berlaku
secara universal.
Namun
demikian untuk menjalankan funsgi hukun
tersebut menurut Parsons (1971) terdapat beberapa masalah penting yang harus diselesaikan terlebih
dahulu, yaitu :
1.
Masalah legitimasi, yang berkaitan daengan landasan bagi pentaatan kepada
peraturan;
2.
Masalah interpretasi, yang menyangkut masalah penetapan hak dan kewajiban
subjek melalui proses penerapan peraturan;
3.
Masalah sanksi, berkaitan dengan penegasan sanksi-sanksi yang akan timbul
apabila terdapat pentaatan atau pelanggaran peraturan, serta menegaskan siapa
yang berhak menerapkan sanksi tersebut;
4.
Masalah yirisdiksi, yaitu berkaitan dengan penetapan garis kewenangan
tentang siapa yang akan berhak menegakan norma-norma hukum dan apa saja yang
akan diatur oleh norma hukum tersebut (perbuatan, orang, golongan dan peranan).
Keempat
masalah ini menjadi amat penting, karena produk hukum yang berupa peraturan
hukum harus memenuhi dan menjamin sara keadilan masyarakat. Oleh karenanya,
melihat fungsi hukum yang demikian, antara hukum dan kehidupan sosial
masyarakat tidaklah dapat dipisahklan. Peraturan hukum dapat digunakan sebagai
sarana kontrol sosial dalam hubungan antara manusia maupun dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Hubungan
yang erat antara hukum dan masyarakat ini oleh Durkheim (1964) ditunjukan oleh perbedaan bentuk dan cara pelaksanaan hukum dalam suatu
struktur sosial masyarakat yang berbeda. Dalam teorinya tentang solidaritas
sosial, Durkheim membadakan masyarakat dalam dua jenis yaitu solidaritas
mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik ditandai oleh pembagian
kerja yang rendah, kesadaran kolektif kuat, idividualisme rendah, hukum yang
sifatnya represif sangat dominan, konsendus terhadap pola-pola normatif sangat
penting, keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang sangat
besar, dan bersifat primitif atau pedesaan. Dengan ciri yang demikian, maka
hukum ini mendefinisikan setiap perilaku kejahatan sebagai ancaman terhadap
solidaritas. Oleh karenanya pemberian hukum di sini dilakukan tanpa harus
mencerminkan pertimbangan rasional yang mendalam mengenai jumlah kerugian
secara objektif yang menimpa masyarakat dan juga bukan merupakan pertimbangan
yang diberikan utuk menyesuaikan hukuman dengan kejahatannya. Hukuman tersebut
cenderung mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif. Sedang solidaritas
organik ditandai oleh perbagian kerja yang tinggi, kesadaran kolaktif rendah,
hukum yang sifatnya restitutif lebih dominan, individualis tinggi, lebih
mementingkan konsensus pada nilai-nilai abstrak dan umum, badan-badan kontrol
sosial yang menghukum orang yang menyimpanh, dan bersifat industrial-perkotaan.
Penerapan hukuman dalam solidaritas mekanik lebih bertujuan untuk memulihkan
perilaku masyarakat agar sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat.
Kemajuan
pebangunan yang dicapai oleh masyatrakat Indonesia saat ini secara umum dapat
dikategorikan pada struktur masyarakat bentuk solidaritas organik. Dengan
kemajuan ini tentunya norma hukum yang dianut lebih bersifat restritutif. Namun
melihat perilaku main hakim sendiri yang dilakukan oleh
masyarakat, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai penerapan hukum yang
berlaku pada masyarakat yang memiliki karakteristik solidaritas mekanik.
Ketidak selarasan antara kemajuan zaman dengan
praktik pelaksanaan hukum ini selanjutnya dapat dikategorikan sebagai
penyimpangan. Penyimpangan atau ketidaksesuaian yang terjadi dalam masyarakat
ini, dalam teori sosiologi disebut sebagai anomie (Durkheim, 1964). Yaitu suatu keadaan
dimana niali-nilai dan norma-norna semakin tidak jelas lagi dan kehilangan
relevansinya. Tindakan main hakim sendiri, dengan demikian dapat dikategorikan
sebagai anomie, atau dalam kasus main hakim sendiri
ini terjadi ketidaksesuaian dalam penerapan fungsi hukum dengan tujuan yang
diinginkan oleh masyarakat. Pelasanaan fungsi hukum oleh
lembaga hukum dipadang oleh masyatakat belum memenuhi rasa keadilan masyarakat,
sehingga masyarakat menjalankan hukumnya sendiri. Berlarutnya penyelesaian
berbagai kasus pelanggaran hukum yang tanpa ujung telah menghilangkan
kepercayaan masyarakat terhadap institusi dan perangkat hukum.
Belum
selesai penanganan hukum terhadap kasus 27 Juli,
kasus Bank Bali dan kasus mantan presiden Soeharto,
sebagai contoh, telah memberikan inspirasi kepada masyarakat untuk
tidak lagi mempercayai hukum, di samping menumbuhkan kemarahan dan kekecewaan
masyarakat terhadap lembaga hukum sebagai lembaga kontrol sosial. Oleh
karenanya Smelser (1963) melihat gejala kekerasan
massa ini sebagai perwujudan dari ledakan kemarahan dan akumulasi kekecewaan
masyarakat. Sebagai akibatnya, ketika pengendalian atau kontrol sosial oleh
pemerintah melalui peraturan atau pranata hukum dianggap tidak berfungsi, maka
pengendalian sosial dalam bentuk lain akan muncul (Black, 1976). Tindakan individu atau massa
untuk main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan pada hakikatnya merupakan
salah satu bentuk pengendalian sosial oleh masyarakat.
Keberanian
masyarakat untuk mengambil alih proses pengendalian sosial dalam bentuk main
hakim sendiri ini, mau tidak mau dapat dinyatakan sebagai buah dari gerakan
reformasi. Gerakan reformasi telah mewariskan kepada masyarakat, baik yang
positif maupun negatif,- kebebasan, keberanian, keterbukaan informasi,
demokrasi, dan sebagainya, yang kemudian menumbuhkan “kekuasaan dalam
masyarakat. Rasa memiliki kekuasaan inilah yang kemudian menjadi pendorong
munculnya tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat. Di sini kekuasaan
dipandang sebagai sarana untuk melegitimasikan setiap tindakan yang dilakukan
oleh masyarakat, termasuk melakukan tindakan hukum. Di sini berlaku suatu asumsi, bahwa
penguasalah pemilik hukum.
B.
Hukum dan kekuasaan
Keterkaitan
hukum dan kekuasaan ini dapat dibuktikan melalui sejarah pemerintahan orde
baru. Kekuasaan yang sangat besar yang dimiliki oleh pemerintah orde baru,
mendorong pelaksanaan sistem hukum sesuai dengan selera dan kebutuhan penguasa.
Di sini mengandung artibahwa para pemilik kekuasan pada umumnya berusaha
mempertahankan “status quo” melalui
berbagai tindakan yang tersembunyi di balik instrumen dam peraturan hukum.
Tindakan ini oleh Galtum (1996) disebut sebagai kekuasan
“punisif”, yang memiliki sumber legitimasinya pada kemampuan untuk
memberikan sanksi “kejahatan” terhadap mereka yang berada di bawah
kekuasaannya, guna menciptakan “rasa takut”. Kekuasaan ”punitif” ini memiliki kecenderungan
mewujudkan tujuannya melalui berbagai bentuk kekerasan fisik dan psikologis
melalui penyiksaan, ancaman, tekanan dan sejenisnya.
Pemerintahan
orde baru dengan kekuasaanya itu telah memperaktikan apa yang dilansir oleh Galtum tersebut. Pemberian stigma
politik kepada para demonstran atau kepada kelompok yang berwawasan kritis,
penggusuran tanah atas nama pembangunan, merupakan contoh jelas dari upaya
untuk mempertahankan kekuasaan melalui instrumen hukum. Oleh karenanya menjadi
benar apabila Max Weber (1922) menyatakan bahwa
kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial melaksanakan
kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini.
Mengapa
penguasa (pemerintah) mampu menguasai rakyat yang sebenarnya memiliki kekuasaan
fisik yang jauh lebih besar? Menurut Hume (dalam Aubert, 1973) ini
disebabkan oleh kemampuan dan keberhasilan penguasa untuk menguasai opini.
Yaitu dengan melakukan tekanan-tekanan, kekerasan dan berbagai bentuk
penciptaan rasa takut lainnya, secara terus menerus sehingga memunculkan
kepatuhan. Kepatuhan ini timbuk secara terus menerus untuk selalu tunduk dan
pasrah, yang dilandasi oleh perasaan superioritas sang penguasa ataupun
perasaan takut. Oleh karena hanya di atas opini sajalah kekuasaan dapat
ditegakkan, maka penggalangan dan pembentukan opini terus menerus di lalukan
guna mempertahan kekuasaan.
Seiring
dengan jatuhnya kekuasaan orde baru, masyarakat kemudian merasa menggunakan
kekuasaan yang dimilikinya, masyarakat kemudian mengadopsi dan meniru pola atau
model penggunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah orde baru. Masyarakat
telah belajar banyak dari kemampuan pemerintah orde baru dalam menggunakan
kekuasaannya, yang selanjutnya dipraktikan dalam bentuk pengadilan jalanan.
Tindakan main hakim sendiri ini merupakan upaya masyarakat untuk menciptakan
opini kepada pemerintah maupun kepada masyarakat lain secara lebih luas, guna
menunjukkan kekuasaanya, meskipun tindakan tersebut disadari telah melanggar
hukum.
BAB III
PEMECAHAN MASALAH
Perilaku
menyimpang dan anomie dalam bentuk main hakim sendiri,
sebagai suatu penyakit masyarakat, tentunya harus segera diobati. Untuk
menemukan obat yang tepat pertama kali perlu dikenali akar permasalahan
munculnya tindak kekerasan atau main hakim sendiri tersebut. Apabila akar
masalahnya adalah ketidakpercayaan terhadap pranata hukum, maka fungsi hukum
seperti yang dikemukakan oleh Hoeber di muka perlu dilaksanakan secara konsekuen. Upaya ini pada akhirnya akan
menumbuhkan kewibawaan dan kepastian hukum yang memenuhi rasa keadilan
masyarakat. Sedangkan apabila tindak kekerasan itu berakar pada ketidakadilan
dan ketertidakpastian masyarakat oleh struktur kekuasaan (penguasa), maka obat
yang tepat untuk itu adalah “pencairan” struktur kekuasaan yang menjadi
sumbernya. Di sinilah kemudian dituntut demokratisasi dalam kehidupan sosial
masyarakat. Untuk dapat melaksanakan ini semua, maka berbagai masalah yang
dikemukakan oleh Parsons di muka perlu diselesaikan
terlebih dahulu.
Berbagai
masalah tersebut dapat diatasi dengan berbagai tindakan antara lain adalah :
1.
Hukum dan peraturan perundang-undangan harus
dirumuskan dengan baik dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
kepribadian, jujur, tidak memihak, serta memiliki kemampuan;
2.
Peraturan perundang-undangan sebaiknya bersifat melarang, bukan bersifat
mengahruskan;
3.
Sanksi yang diancamkan di dalam perundang-undangan haruslah sebanding
dengan sifat perundang-undangan yang dilanggar;
4.
Lembaga hukum harus dibebaskan dari berbagai kekuasaan di luar kekuasaan
yudikatif, utamanya kekuasaan eksekutif dan Para pelaksana hukum harus
menafsirkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan tafsir yang dilakukan
oleh aparat pelaksana hukum. Melalui tindakan-tindakan ini dan menentukan akar
permasalahan timbulnya tindakan main hakim sendiri, diharapkan tindak kekerasan
oleh massa dapat dihentikan.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang, pembahasan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa kita harus menjalankan funsgi hukum menurut Parsons (1971) yang terdapat beberapa masalah penting yang harus
diselesaikan terlebih dahulu, yaitu :
a)
Masalah legitimasi, yang berkaitan daengan landasan bagi pentaatan kepada
peraturan;
b)
Masalah interpretasi, yang menyangkut
masalah penetapan hak dan kewajiban subjek melalui proses penerapan peraturan;
c)
Masalah sanksi, berkaitan dengan penegasan sanksi-sanksi yang akan timbul
apabila terdapat pentaatan atau pelanggaran peraturan, serta menegaskan siapa
yang berhak menerapkan sanksi tersebut;
d)
Masalah yirisdiksi, yaitu berkaitan dengan penetapan garis kewenangan
tentang siapa yang akan berhak menegakan norma-norma hukum dan apa saja yang
akan diatur oleh norma hukum tersebut (perbuatan, orang, golongan dan peranan).
B.
Saran
Sebaiknya kita sebagai warga Negara Indonesia harus lebih
bisa bersikap dewasa dalam menghadapi sebuah masalah pribadi maupun kelompok.
Dan menggunakan fungsi hukum negara kita dengan sebaik mungkin. Jika perbuatan
main hakim sendiri terus menerus diperbudayakan, maka negara kita tidak akan
terlihat seperti negara hukum yang sudah dikaji di UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar